Selasa, 25 Desember 2012

BANGGAI KEPULAUAN SEBAGAI TUJUAN WISATA DI INDONESIA

Banggai Kepulauan (Bangkep merupakan wilayah kepulauan yang terletak di Propinsi SulawesI Tengah,  Luas hamparan laut di wilayah ini dua kali lipat dibandingkan dengan luas daratan yang ada. .
  Sebagai wilayah kepulauan, laut menjadi bagian kehidupan sehari-hari masyarakat di sana karena di sanalah terdapat potensi dan kekayaan alam yang pantas diolah dan diusahakan sebagai penopang kehidupan penduduk Bangkep. Laut yang bagi banyak orang terkesan menakutkan bagi kabupaten ini
  Bangkep bergantung pada kehidupan sektor pertanian, termasuk perikanan. Separuh penduduk lebih hidup dari sektor ini, yakni 61.630 orang, sedangkan penduduk yang hidup dari perikanan 8.299 orang. Sudah umum diketahui kebanyakan petani merangkap sebagai nelayan.
  Selain sector kelautan Banggai Kepulauan juga  perkebunan wilayah ini adalah kelapa, cengkeh, kakao, dan jambu mete yang dihasilkan hampir di seluruh kecamatan.
  Wilayah Bangkep kaya akan keindahan laut, pantai, dan pulau-pulau kecil yang memesona. Namun karena terkendala sarana yang kurang memadai sehingga menjadi kendala bagi perkembangan sektor wisata di daerah ini oleh karena itu perlu bantuan serta perhatian dari pemerintah pusat terutama departemen pariwisata dan kelautan. Diharapkan pemerintah secepatnya memberdayakan masyarakat agar potensi kelautan maupun wisata di daerah ini dapat terekspose hingga ke mancanegara sehingga akan menjadi nilai tambah bagi kemajuan perekonomian daerah Banggai Kepulauan.

 Eksotik Banggai Kepulauan sebagai salah satu tujuan wisata
Kabupaten Banggai kepulauan memiliki pulau-pulau sedang dan kecil antara lain Pulau Peleng, Pulau Banggai, Pulau Bangkurung, Pulau Salue Besar, Pulau Labobo dan 116 pulau-pulau kecil lainnya. Kepulauan ini merupakan kawasan yang sangat bagus untuk melakukan berbagai kegiatan air seperti berenang dan menyelam. Di kawasan perairan ini wisatawan mungkin dapat melihat dugong atau sapi laut dan bahkan ikan paus.
Banggai Kepulauan termasuk dalam kawasan wilayah yang memiliki keunikan tersendiri. Wilayah ini terdiri dari pulau besar, pulau kecil, pegunungan dan perbukitan. Di pedalaman tersebar beraneka ragam flora dan fauna, pesisir pantai kaya akan keanekaragaman ekosistem laut, seperti hutan bakau, padang , tipe-tipe serta biota laut lainnya.

Untuk wisata pantai dan bawah laut maka Pulau Mekelu (Pulau Tikus ), Pulau Lasampung Delopo, Kembongan, merupakan tempat yang di kelilingi pasir putih dan terumbu karang. Keindahan bawah laut Tolobundu di pulau Lo. Bangkurung. Wilayah ini terdiri dari pulau-pulau kecil, tersebar terumbu infsourlamwaessii pteanrgiwahisata nusantara 561 karang, ikan hias dan pasir putih banyak terdapat dipulau ini. 
Pulau Kembongan merupakan objek wisata pantai. Kegiatan yang dapat dilakukan yaitu diving, snorkelling, Pulau Sampu-sampuan adalah sebuah pulau kecil yang hanya berukuran 2 kilometer dan untuk mencapainya harus menggunakan perahu motor selama empat jam perjalanan. Pulau ini memiliki pasir putih dan pantainya bergoa-goa. Keindahan bawah lautnya sangat menakjubkan karena memiliki berbagai jenis ikan hias yang unik. Masyarakat local biasa menyebutnya sebagai ikan Capungan Banggai (Pterapogon kauderni) atau dalam bahasa Inggrisnya disebut dengan Banggai Cardinal Fish adalah ikan yang unik.  Ikan ini mempunyai wilayah distribusi yang sangat terbatas yaitu di Kepulauan Banggai-Sulawesi Tengah.  Capungan Banggai juga dijumpai di perairan Teluk Luwuk,Selat Lembeh, Teluk Palu, dan di Gilimanuk Bali.  Keberadaan capungan Banggai di luar Kepulauan Banggai  adalah berasal dari Banggai yang dibawa oleh kegiatan perdagangan dan dilepaskan di perairan-perairan ini.
Ukuran badannya tergolong kecil (mencapai 8 cm) dan bukan merupakan perenang aktif.  Di dalam air Capungan Banggai yang dijumpai terlihat diam tidak bergerak.  Cara reproduksinya juga unik, telur yang sudah dibuahi akan dierami di mulut sang jantan dan menetas di dalamnya.  Setelah itu barulah sang ayah membuka mulut dan keluarlah ikan-ikan kecil.  Selama mengerami hingga menetas, sang ayah tidak makan sama sekali (sekitar 4).  Dengan demikian, berbeda dengan biota laut lainnya, ikan Capungan Banggai tidak melewati fase plantonik dalam siklus hidupnya.  
Di laut ikan Capungan Banggai hidup di perairan dangkal dan dijumpai hidup bersama dengan bermacam-macam biota laut, antara lain Bulu Babi, Anemon, Bintang Laut, Karang, dan Lamun.  Duri-duri panjang yang ada di Bulu Babi menyediakan tempat berlindung baik untuk ikan dewasa maupun juvenil, sehingga menyulitkan predator yang ingin memangsa mereka.  Ikan dewasa biasanya berenang di bagian atas bulu babi sedangkan juvenil akan berdiam di sela-sela duri dekat dengan tubuh bulu babi.

Saat  ini Capungan Banggai menghadapi ancaman menurunnya populasi akibat tingkat pengambilan yang sangat tinggi dan cara penanganan yang tidak tepat, sehingga menyebabkan tingkat kematian yang sangat tinggi.  Ikan ini adalah salah satu komoditi ikan hias laut sehingga permintaan dari luar negeri cukup besar.  Indonesia telah  mendapat tekanan dari dunia internasional berupa usulan untuk memasukkan jenis ini ke dalam Appendix II CITES (boleh diperdagangkan secara  tetapi perdagangannya diatur secara international) hingga pelarangan membeli ikan hasil tangkapan alam.   Sebenarnya sudah banyak pihak yang berhasil membiakkan ikan ini, tetapi sebagian besar ikan yang ada di pasar internasional masih berasal dari penangkapan di alam (wild caught).

Capungan Banggai oleh IUCN sudah ditetapkan pada status endangered species, pemerintah Indonesia berupaya melakukan pengelolaan kegiatan perikanan ikan Capungan Banggai, juga karena mempertimbangkan keberlanjutan sumberdayanya dan perekonomian para nelayan.  Bersama LINI, selain memulai proses penyusunan dokumen rencana pengelolaan juga dilakukan kegiatan pelatihan teknis tidak hanya cara penangkapan yang tidak merusak tapi juga meliputi perawatan pasca tangkap untuk menjaga kualitas dan kesehatan ikan, pemahaman pembatasan jumlah tangkapan dan penetapan daerah perlindungan laut di masing-masing lokasi penangkapan .

Sebenarnya mengelola sumberdaya yang terbatas ini tidaklah sesulit yang dibayangkan.  Hanya kemauan untuk membuat kesepakatan dan mengatur diri sendiri, baik dari pelaku perdagangan di daerah suplai maupun para pembeli akhir. Eksportir dan importir harus punya kepekaan dan mengambil bagian dalam gerakan pelestarian ikan Capungan Banggai ini.  Pemerintah daerah sesungguhnya punya posisi yang kuat dalam mengarahkan pengelolaan.  Perangkat pengelolaan dapat berupa pengaturan jumlah tangkapan, penetapan daerah perlindungan laut (akan sangat baik jika merupakan hasil pengajuan dari masyarakat), monitoring data tangkapan, monitoring kondisi populasi dan masih banyak lagi yang lain sesuai dengan kondisi dan kebutuhan.  Di Kepulauan Banggai sendiri bukan hanya isu ikan Capungan yang perlu diperhatikan, akan tetapi masih maraknya penggunaan bom dan sianida untuk tujuan mengambil ikan konsumsi.  Hal ini juga perlu menjadi perhatian serius bagi semua pihak, khususnya pemerintah daerah dan aparat hukum.

Selain Objek Wisata bawah laut yang menarik ternyata Di Banggai kepulauan ini juga terdapat objek wisata budaya yang merupakan peninggalan  Raja Banggai yang biasa disebut keraton peninggalan Raja Banggai yang kondisinya masih terpelihara baik. Obyek wisata budaya ini sekitar 72 kilometer dari Luwuk. Di dalamnya terdapat keris kerajaan, payung kerajaan, alat musik kulintang dan pakaian kebesaran raja lainnya.
Kerajaan Banggai diperkirakan berdiri pada abad ke 13 tahun Saka 1478 atau tahun 1365 Masehi. Kerajaan ini berada di bawah pengaruh Kesultanan Ternate di Maluku Utara. Bentuk bangunan keratonnya seperti yang ada di Tidore dan Ternate karena hubungan historis.

Kerajaan Banggai dikenal sebagai kerajaan paling demokratis di dunia karena tidak mengenal putra mahkota atau ahli waris karena siapapun bisa diangkat sebagai raja atas keputusan Basalo Sangkep yang berfungsi sebagai Majelis Permusyawaratan Rakyat atau wakil rakyat. Banggai juga memiliki bendera berwarna putih bersudun 13 yang merupakan warisan rumpun keramat paisutobui.

Makam Raja Mandapar menjadi salah satu tujuan wisata di kelurahan Lompio, kota Banggai. Makam yang hanya terbuat dari timbunan batu-batuan terkesan sangat sederhana tetapi banyak dikunjungi wisatawan. Dia adalah sosok yang menyatukan wilayah Banggai Keplauan dan Banggai Darat. Raja ini dimakamkan tahun 1625 atau 25 tahun setelah memerintah.

Di Kota Banggai ada tiga rumah keramat yaitu rumah keramat Bobolau, rumah keramat Kokini dan rumah keramat Putal. Salah satunya terletak di Kelurahan Lompio. Di rumah keramat ini terdapat sebuah keni atau bejana yang diyakini sebagai tempat tinggal Putri Saleh Butu Bulugaus. Putri ini dalam waktu tertentu keluar dari kendi dan menampakkan diri pada orang-orang di sekitarnya.
Konon Putri Bulugaus adalah putri seorang raja Banggai dan mempunyai saudara laki-laki bernama Abu Gasim. Namun dalam keseharian keduanya sering sekali bertengkar. Putri akhirnya wafat dan dimakamkan di rumah keramat itu dan Abu Gasim dimakamkan di rumah keramat di Kelurahan Dodung. Pantai Lambangan Pauno merupakan obyek wisata lainnya di kota Banggai.
Tempat pemandian pinggir pantai ini di Desa Kendek sekitar 10 km dari Banggai. Pasir putih, batu karang, tebing terjal dan pohon ketapang yang memagari pantai memperindah pantai.
informasi parsiwuliaswaetsai ntuensgaanhtara 562 Kabupaten Banggai daratan juga memiliki obyek pantai yaitu Pantai Kilo Lima yang ramai dikunjungi masyarakat kota Luwuk karena letaknya dekat pusat kota. Deretan kios, kafe dan warung makan memenuhi pinggir pantai. Kegiatan olahraga pantai seperti berenang, ski air atau berselancar Suaka margasatwa Salodik terletak 27 km dari kota Luwuk. Untuk mencapai cagar alam ini dapat ditempuh dengan kendaraan roda empat selama40 menit. Daya tarik utamanya adalah air terjun bersusun-susun yang berada di ketinggian 600 meter dari atas permukaan laut. Karena alamnya yang indah, jaman kolonial dulu Belanda membuat pesanggrahan yang masih dapat dijumpai sampai sekarang.
Keunikan kepulauan banggai menjadi salah satu hal yang menarik untuk di kunjungi terutama bagi wisatawan yang menginginkan suasana wisata yang dekat dengan kehidupan bawah laut.

Kamis, 28 Juni 2012

Team Survey Banggai Cardinal Fish







Expedition to Indonesia Set for June 2012. Team includes marine aquaculturists, aquatic veterinarians, and marine fisheries scientists
SHELBURNE, Vermont With an ultimate goal of getting the Banggai Cardinalfish safely off the endangered species list, the Banggai Rescue Project today announced its science team, based at the University of Florida Tropical Aquaculture Laboratory in Ruskin, Florida, and Bali, Indonesia.
Craig A. Watson, M.Aq., director and research coordinator for the University of Florida Tropical Aquaculture Laboratory, known as UF/TAL, will head up planning for the team’s expedition and research into health and captive breeding issues and methods. Craig has a master’s degree in aquaculture from Auburn University, and is the author of a number of papers on aquaculture and fish health issues.
Matthew L. Wittenrich, Ph.D., a larval fish physiologist also at UF/TAL, will be looking at the potential to encourage mariculture of the species by native peoples in the Banggai Islands, as well as setting up an experimental Banggai Cardinal breeding facility in Florida. Matt is currently working with the Rising Tide Conservation Initiative raising marine ornamental fishes from eggs collected by public aquaria members of the American Zoological Association.
Roy Yanong, V.M.D., is an aquatic animal veterinarian and a long-time tropical fish enthusiast working with UF/TAL. He has been studying the “mystery disease” responsible for killing many wild-caught Banggai Cardinals soon after their purchase by aquarium retailers, breeders, and hobbyists. He will attempt to trace the source of a virus in the supply chain between the islands and import facilities in Los Angeles. He and Matt hope to acquire a quantity of healthy broodstock while on the expedition. Roy received his veterinary degree from the University of Pennsylvania.
Eric Cassiano, M.Sc. is a marine biologist with an interest in marine ornamental fish larvaculture. He will be working with captive reproduction and large-scale techniques.
Tom Waltzek, VMD, Ph.D. is a postdoctoral researcher and aquatic veterinary virologist. Tom
has worked extensively with iridoviral diseases, including the virus suspected to be responsible for fatal disease in wild-caught Banggai cardinalfish. He and Roy Yanong will be working closely together on tracking the origin of the lethal iridovirus.
Indonesian Marine Science Experts
Gayatri Reksodihardjo-Lilley is a marine conservation and fisheries expert and founder of LINI, the Indonesian Nature Foundation. She will coordinate the Banggai rescue work in Indonesia with the field team, and provide an ongoing link for the project with Indonesian scientists and fisheries personnel on the ground, and in the waters of the Banggai Islands.
Yunaldi Yahya, M.Sc. is one of the very few experienced Indonesian fisheries scientists specializing in reef monitoring, fish identification, and reef survey methodologies. Yunaldi has spent much time in the Banggai Islands, mapping BCF distribution and densities.
Ketut Mahardika Ph.D., is a fish pathologist, working with The Gondol Research Institute for Mariculture. He will be working with the Banggai field team, taking samples for analysis in the laboratorium in Gondol.
Marine Aquarists Funding Pro Bono Science
“We are very proud to be able to help sponsor this impressive international team,” says James Lawrence, editor and publisher of CORAL Magazine and head of Reef to Rainforest Media, based in Shelburne, Vermont. “We have found strong support and financial backing in the marine aquarium community to provide funds for the expedition, captive breeding research, and seed money to produce a book covering all aspects of the project.”
Those joining the June 2012 expedition to the Banggai Islands include Drs. Matt Wittenrich and Roy Yanong, as well as the Indonesian marine biologists. CORAL Senior Editor Ret Talbot will be embedded as the writer with the expedition.
“This is all being made possible by the leadership of the UF/TAL scientists working hand-in-hand with Indonesian biologists as well as the generosity of many parties,” said Lawrence. “Our fundraising campaign on Kickstarter.com brought in $33,000, more than 30% over the initial goal, thanks in large part to the readers and sponsors of Coral Magazine.”



The Book: Foreword by Dr. Gerry Allen
Members of the Banggai Rescue team not accompanying the expedition include Matt Pedersen, who is conducting small-scale breeding work with Pterapogon kauderni in Minnesota, and Lawrence, who is overseeing creation and publication of the book in Vermont.
Ichthyologist Dr. Gerald R. Allen, left, who rediscovered the species and introduced it to the aquarium world in 1995-96, and who currently works with Conservation International doing biodiversity surveys, will act as a senior advisor to the project and will write the foreword to the book.
Entitled, BANGGAI Rescue, Adventures in bringing Pterapongon kauderni back from the brink, the book is scheduled for publication in time for the annual Marine Aquarium Conference of North America in Dallas/Fort Worth, at the end of September. Sales of the book will help fund ongoing research and sustainability initiatives