Senin, 16 April 2012

SEPUCUK SURAT ANAK NEGERI menuju PEMBAHARUAN BANGGAI BARU (pENULIS ; Hairudin Manole

DAFTAR ISI
DAFTAR ISI
KATA PENGANTAR
DEDIKASI
BIOGRAFI SINGKAT PENULIS

PERADABAN BANGGAI KEPULAUAN
SEJARAH TERBENTUKNYA KABUPATEN BANGGAI KEPULAUAN
SUKU BANGGAI
MAKNA MOTTO BANGKEP : KONGGOLIO KO TANO KENENDEKE KO LIPU
MEMBANGUN CHARAKTER  MELALUI KEARIFAN LOKAL BANGGAI

MUTIARA TERSEMBUNYI DI REPUBLIK
PROFIL SINGKAT KABUPATEN BANGGAI KEPULAUAN
MAKANAN RAJA – RAJA CINA DARI NELAYAN BANGGAI


STRATEGI  MEMARKETING BANGGAI KEPULAUAN

PEMBENTUKAN ASSOSIASI MASYARAKAT BANGGAI KEPULAUAN SE-INDONESIA
PAMERAN DAN EKSPO NASIONAL DAN INTERNASIONAL
PEMANFAATAN MEDIA LOKAL DAN NASIONAL
DUTA WISATA

10 PROGRAM BANGGAI KEPULAUAN GEMILANG

MENATA ULANG PENINGGALAN SEJARAH SEBAGAI POTENSI PARIWISATA
PERLUNYA KAJIAN YANG TUNTAS TENTANG  POTENSI LOKAL
ICON DAN OLEH – OLEH
DOKUMEN EKONOMI BANGGAI KEPULAUAN
PENDIRIAN DAN PENGELOLAAN BALAI LATIHAN KERJA
PEMBANGUNAN INFRASTRUKTUR LOKAL
REGULASI PEMERINTAH DAERAH
PROTEKSI HASIL POTENSI EKONOMI
MEMBUKA KANTOR PERWAKILAN DI JAKARTA DAN BATAM
BUKA AKSES PERDANGAN LAUT   ; SALAKAN – GORONTALO DAN BANGGAI – MALUKU UTARA
KATA PENGANTAR
Puji syukur kami panjatkan ke hadirat Allah SWT, Tuhan Yang Maha Kuasa atas telah terbitnya Buku tentang “Sepucuk Surat Anak Negeri Menuju Pembaharuan Banggai Baru“ yang memuat sisi pandangan untuk mempromosikan daerah dengan bertumpu pada tingginya peradaban Banggai dan potensi yang dimilikinya. Banggai Kepulauan dalam tataran Nasional belum terlalu dikenal, apalagi dalam skala Internasional. Padahal daerah ini mempunyai sejarah peradaban yang tinggi, memiliki kearifan local, potensi local dan sumber daya alam yang melimpah, potensi perikanan, komunitas adat, seni budaya, peninggalan sejarah kerajaan, keunikan system pemerintahan kerajaan dan lain sebagainya. Dengan pertimbangan itu membuat batin saya selalu berpikir mulai darimana, dengan cara apa untuk bisa memperkenalkan Banggai Kepulauan agar bisa dikenal dan sejajar dengan daerah – daerah lain di Indonesia.
Tugas kita sebagai kaum terpelajar marilah berkarya demi kemajuan daerah sebagai bentuk manifestasi menghargai marwah Banggai Kepulauan. Sudut pandang kita kadangkala menganggap bahwa membangun daerah hanyalah tugas semata – mata Pemerintahan Daerah, padahal tugas hal tersebut merupakan tanggungjawab seluruh warga Negara.
Penulis mengakui bahwa penulisan buku ini, hanya berbekal semangat yang kental semata dengan tujuan yang paling hakiki ingin turut membangun Banggai Kepulauan lewat berpikir melalui Buku yang saya tulis ini. Sebagai pesan moral kepada saudara – saudara “ Pau Banggai “ yang terpelajar marilah kita berinovasi sekecil apapun demi kemajuan dan kemaslahatan “ Banggai Tano Monondok”. Secara jujur penulis mengakui bahwa isi maupun kajian dari buku ini keadaannya masih jauh dari sempurna. Hal ini dikarenakan terbatasnya kemampuan dan pengetahuan penulis. Mengacu kepada hal tersebut penulis sangat mengharapkan adanya partisipasi aktif rekan – rekan kaum terpelajar, budayawan, birokrat, politisi, pers, aktivis, mahasiswa dan masyarakat Banggai Kepulauan untuk dapat kiranya melengkapi dan meningkatkan kajian buku ini.
Akhirnya pada kesempatan ini pula, penulis ingin menyampaikan rasa terima kasih kepada semua pihak yang secara langsung maupun tidak langsung membantu dan berpartisipasi dalam penulisan serta penerbitan buku ini. Semoga Tuhan Yang Maha Kuasa membalas segala kebaikan yang diberikan. Amin.


DEDIKASI
Buku yang berjudul “Surat Anak Negeri Gerbang Bangkep Gemilang “ saya persembahkan untuk Ibunda paling tercinta Rabi’a Yadasang dan Ayahanda yang paling saya idolakan Nurhin S. Manole khususnya atas kasih sayang,  pendidikan, belaian kelembutan hati sebagai sebagai orang tua yang selama ini telah mendidik dan membesarkan saya.
Kebanggaan tiada kira atas dedikasi yang tulus baik dalam keadaan senang dan susah kepada istriku yang tercinta Hadija Latipo yang telah memberikan dukungan begitu besar bagi kesuksesan dalam menggapai hidup. Serta untuk anakku yang paling kusayangi “ buah hati, secercah harapan si penawar rindu dan berulam jantung” Abdy Nusantara HM yang selalu menjadi sumber inspirasi dan perekat keluarga dengan harapan agar berbuat yang terbaik untuk kepentingan agama, Negara, bangsa, masyarakat dan keluarga.
Saya secara personality adalah tipical manusia yang menyenangi politik. Karena dengan berpolitik kita berpikir membangun Negara, Artinya setiap politisi adalah negarawan. Dari kecil saya sudah bercita – cita ingin menjadi pemimpin dan untuk menuju ke arah jembatan kepemimpinan kita perlu bercita – cita, mempunyai impian dan harapan gemilang. Di Amerika Serikat pernah dilakukan Survey tentang Cita – cita dan impian, ternyata para birokrat, politisi, pengusaha sukses adalah orang – orang mempunyai impian besar. Sebaliknya para orang – orang yang dari kelompok menengah ke bawah tidak mempunyai impian yang besar. Survey ini saya angkat sebagai spekulasi opinion personal yang dapat dijadikan referensi untuk menjadi orang sukses. Pernahkah kita berpikir tentang “ Pau Banggai “. Saya berpendapat bahwa Pau Banggai (Orang Banggai) memiliki inteligency yang sangat tinggi. Sebagai asumsi saya waktu kecil sebagai orang pesisir pantai sering menangkap Ikan Kerapu kemudian dibakar lalu dimakan dengan Ubi Banggai. Ternyata 15 tahun mendatang Ikan Kerapu inilah yang merupakan ikan termahal di dunia, karena memiliki kandungan gizi yang tinggi untuk nutrisi otak manusia. Banggai Kepulauan dengan Suku Banggai mempunyai kearifan local yang bisa dijadikan sebagai referensi membangun karaktek anak – anak Banggai yang diformulasikan ke dalam kurikulum local di sekolah – sekolah.

BIOGRAFI SINGKAT PENULIS
Saya adalah anak ke – 4 dari 6 bersaudara dan anak laki – laki pertama yang dilahirkan dari pasangan Nurhin S. Manole dan Rabi’a Yadasang. Dilahirkan di sebuah desa terpencil Oluno, Kecamatan Bulagi, Kabupaten Banggai Kepulauan Sulawesi Tengah pada tanggal 2 Mei 1978 bertepatan Hari Pendidikan Nasional.
Riwayat Pendidikan SD Inpres Oluno (1987 - 1992), SMP Negeri Bulagi (1992 – 1995), SMU Negeri 3 Luwuk (1995 – 1998) dan Universitas Tadulako (1998 – 2005). Semenjak SD sampai SMP mulai menonjol  prestasi dan selalui mendapatkan Ranking I. Hal yang paling tidak terlupakan adalah waktu Sekolah SMP harus berjalan 10 KM (pergi pulang). Tapi perlu bersyukur karena rekan – rekan saya ada yang menempuh perjalanan ke sekolah 20 KM setiap hari. Syukurnya pada waktu itu orang tua bisa membelikan sebuah sepeda sebagai hadiah Ranking I pada Semester awal. Ada satu kisah kami tiba di sekolah dan masuk kelas dalam keadaan mandi keringat karena Balapan Sepeda ke sekolah, tiba – tiba Kepala Sekolah S. Kuangga memerintahkan kami untuk menjemurkan diri di panas matahari dan setelah kering baru masuk ruangan. Dan Bapak S. Kuangga saya sangat apresiasi karena beliau yang membentuk disiplin. Alhamdulillah saya mendapatkan Ranking Pertama pada saat Ujian EBTANAS SMP.
Setelah tahun 1995 lulus SMP Negeri Bulagi dan ingin melanjutkan ke tingkat SLTA. Dan pada waktu itu di Banggai Laut (sebutan Banggai Kepulauan yang masih satu dengan Kabupaten Banggai) hanya memiliki 2 SMA negeri yaitu di SMU negeri Banggai dan SMU Negeri Salakan, sedangkan di Bulagi hanya ada satu SMU Pembaharuan Bulagi (swasta). Akhirnya dengan tekad dan dorongan orang tua maka saya melanjutkan SMU di Kota Luwuk, dengan tujuan agar bisa mendapatkan pendidikan yang layak dan bermutu. Pada waktu itu saya masuk di SMA Negeri 3 Luwuk dan diterima.
Hari demi hari kulalui untuk menimba ilmu. Dan dari SMU Negeri 3 Luwuk ini saya ditempa dan belajar organisasi. Semenjak kelas I telah aktif di Kepengurusan OSIS. Setelah Kelas II ada Pemilihan Ketua OSIS dan dipilih langsung oleh seluruh siswa. Saya dicalonkan oleh teman – teman saya dan terpilih menjadi Ketua Osis pada kepengurusan 1996 – 1997. Setelah satu bulan menjabat, maka saya diutus dan mengikuti Pelatihan Keorganisasian dan Kepemimpinan Ketua Osis Se – Provinsi Sulawesi Tengah di Palu tahun 1996, dan terpilih menjadi peserta terbaik pertama. Dari pelajaran berharga ini saya mulai aktif organisasi kader lainnya seperti Ikatan Remaja Muhammadiyah (IRM), Ikatan Pelajar Mahasiswa Kabupaten Banggai (IPMKB) Cabang Luwuk dan Kepramukaan. Segudang prestasi lainnya yaitu Terpilihnya sebagai Siswa Teladan Pertama Se-Kabupaten Banggai Kepulauan pada tahun 1996.
Hal yang paling tidak terlupakan adalah waktu naik kelas III, saya dipanggil oleh Guru – guru mata pelajaran. Waktu itu disuruh untuk memilih jurusan, apakah jurusan IPA, IPS atau Bahasa. Ini dilakukan karena nilai pelajaranku sama nilainya. Jadi waktu itu  langsung memilih jurusan IPS karena  saya sudah bercita – cita kalau kuliah nanti masuk jurusan Ilmu Hukum. Waktu terasa bergulir begitu cepatnya, berkat bimbingan Guru – guru dan lebih utama sebagai ucapan tiada terhingga kepada Bapak Drs. Kasim B. Moti, MM. yang saya anggap sebagai orang tuaku telah membimbing di rumahnya selama 3 tahun dan akhirnya saya dapat menyelesaikan pendidikan SMU dengan Nilai yang gemilang sebagai Rangking Pertama sekaligus Nilai EBTANAS tertinggi Se – Kabupaten Banggai.
Selanjutnya saya melanjutkan studi di Fakultas Hukum Universitas Tadulako Palu. Karena waktu kelas III SMU saya mengikuti Tes masuk Universitas Tadulako dengan dua pilihan yaitu Jurusan Ilmu Administrasi Negara dan Ilmu Hukum. Akhirnya saya lulus di Fakultas Hukum dan bebas Tes masuk di Universtas Tadulako. Dua semester saya lalui di Fakultas Hukum, dengan berbagai pertimbangan pada semester 3 saya mengusulkan untuk pindah di Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik Jurusan Ilmu Administrasi Negara. Hal ini saya lakukan karena ternyata Bacground keilmuan lebih condong ke Administrasi Negara.
Dan dengan terpaan organisasi waktu SMU, pada tahun 2000 – 2001 saya terpilih sebagai Sekretaris Jendral Badan Eksekutif Mahasiswa Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik Universitas Tadulako. Tahun 2001 – 2002 terpilih menjadi Anggota Majelis Mahasiswa (DPR-nya Universitas Tadulako). Berbagai lembaga kader saya ikuti  untuk mengasah arah dan idiologi organisasi salah satunya yang paling saya sukai adalah Himpunan Mahasiswa Islam (HMI), karena Organisasi ini banyak menghasilkan Tokoh Nasional seperti Akbar Tanjung, Cak Nur, Yusuf Kalla, Fahmi Idris, Fadel Muhammad, Marwah Daud, Anas Urbaningrum dan lain sebagainya.
Kegiatan organisasi pun kian gemilang saat terpilih menjadi Ketua Umum Ikatan Pemuda Banggai Kepulauan (organisasi mahasiswa) di Palu. Dari semenjak mahasiswa saya sudah aktif di Non Government Organization (NGO) salah satunya adalah sebagai konsultan United Development Program (UNDP) di Banggai Kepulauan untuk program diskusi komunitas menjelang Pemilihan Presiden secara langsung. Karena sering aktif di organisasi menyebabkan kuliah sering terganggu dan dengan satu tekad yang kuat maka tahun 2005 saya menyelesaikan studi di Universitas Tadulako.
Setelah gelar Sarjana saya gapai muncul berbagai pilihan hidup, maka saya mengikuti tes Sarjana Pendamping Provinsi Sulawesi Tengah  akhirnya diterima dan ditempatkan di Desa Persatuan Sejati Kabupaten Parigi Moutong. Kerja ini saya hanya lakukan 6 bulan. Setelah dari sana saya putuskan kembali ke kampung halaman tahun 2006. Setelah tinggal di kampung kurang lebih 1 tahun saya aktif di kegiatan – kegiatan social pendidikan. Sekolah yang kami dirikan yaitu SMK Pertanian di SMK Bangunemo Kecamatan Bulagi. Dengan berbagai kekurangan materi tetapi berkat dukungan masyarakat maka terbentuklah sekolah tersebut. Waktu itu kami berpikir bersama Pendiri Sekolah yaitu Weli Mosoli, Weros Puasai dan Kepala Desa sekolah ini berbentuk yayasan, akan tetapi kalau dukungan Pemerintah serius maka kami siap dan rela dijadikan statusnya menjadi sekolah negeri. Perjuangan kami tidak sia-sia dan akhirnya tahun 2009 sekolah tersebut dinegrikan.
Memang hidup itu perjuangan penuh dengan pilihan hidup. Sejak awal saya sudah putuskan untuk tidak menjadi Pegawai negeri sipil. Di tahun 2007 saya dan istri tercinta berdiskusi untuk membangun masa depan yang lebih baik.  Akhirnya solusi yang kami ambil untuk membangun masa depan adalah memilih merantau. Kota yang kami tujui yaitu Kota Batam. Saya, istri dan anakku tercinta meninggalkan kampung halaman pada hari sabtu, 14 April 2007 dan tiba di Kota Batam tanggal 21 April 2007. Ayahku waktu minta restu untuk merantau hanya berpesan “ Apa yang kita impikan di daerah rantau belum tentu sesuai kenyataan “. Ternyata pesan ayah benar adanya. Di kampung saya berpikir dengan modal Sarjana setelah merantau langsung mendapatkan pekerjaan yang layak. Pekerjaan pertama setelah tiba di Batam yaitu bekerja sebagai tukang Cleaning Kapal di PT. Natwell Shipyard. 6 bulan kemudian saya belajar menjadi tukang Las Kapal. Dari semenjak bekerja di Galangan Kapal saya membaca ada satu peluang tapi harus meningkatkan skill dan human relation yang baik. Pekerjaan Tukang Las saya lalui 2 tahun dengan berpindah – pindah perusahaan mulai dari PT. Karya sindo Bahari Shipyard, PT. Karya Tekhnik Utama, dan PT. Batamec. Tahun 2009 saya ikut seleksi di Perusahan Dubai PT. Drydock Pertama dan diterima di bagian Pipa Line untuk pipa jaringan di perusahaan. Dengan latarbelakang pendidikan sebagai Sarjana Sosial maka tidaklah relevan dengan pekerjaan. Akan tetapi situasi dan kondisi perekonomian di Batam yang mayoritas pekerjaan laki – laki di Galangan Kapal maka saya putuskan untuk menambah pendidikan dengan mengambil spesifikasi di bidang Oil & Gas (Migas) yaitu Welding Inspector (Quality Control untuk pekerjaan Kontruksi Kapal). Setelah selesai langsung di Panggil bekerja di PT. Palindo Marine Shipyard yang mengerjakan Project bergengsi yaitu Kapal Cepat Rudal (KCR – 40) yang merupakan project pertama Anak Indonesia untuk produksi Kapal jenis tersebut. Saya sangat bangga sebagai anak kampung dapat berkarya besar untuk kekuatan Pertahanan Negara.
Sebagai seorang organisatoris ulung, saya tetap aktif organisasi di Batam. Organisasi pertama yang saya bentuk tahun 2010 yaitu  Generasi Muda Indonesia Timur (GM - INDOTIM) Kota Batam, saya sebagai deklarator sekaligus sebagai Ketua Umum. Organisasi ini menaungi 13 provinsi se – Indonesia Timur yaitu Sulawesi Tengah, Sulawesi Selatan, Sulawesi Tenggara, Sulawesi Barat, Sulawesi Utara, Gorontalo, Maluku, Maluku Utara, Nusa Tenggara Timur, Nusa Tenggara Barat, Bali, Papua dan Papua Barat.
Dengan perkembangan yang begitu cepat, situasi ekonomi dan regulasi Pemerintah yang kurang berpihak pada Tenaga Kerja Indonesia, saya bentuk dan sekaligus Ketua Umum Assosiasi Welding Inspector Indonesia (ASWINDO) yang berkedudukan di Kota Batam. Organisasi profesi ini kami jadikan sebagai motor perjuangan Anak Bangsa yang berkecimpung di dunia Oil & Gas. saya dan kawan – kawan berjuang di level Pemerintah Kota Batam, Provinsi Kepulauan Riau dan Menteri terkait di Jakarta.
Saya hanya berpikir suatu kelak nanti Anak – anak Banggai Kepulauan dapat berkiprah dan bekerja bukan hanya Pegawai negeri sipil akan tetapi lebih variatif sebagai pengusaha muda, karyawan BUMN, Oil & Gas, Pertambangan dan lain – lain. Dengan adanya variasi ini akan memberikan keragaman cita – cita, harapan, dan impian bagi kemajuan Banggai Kepulauan.









PERADABAN BANGGAI KEPULAUAN
SEJARAH TERBENTUKNYA KABUPATEN BANGGAI KEPULAUAN
Semangat reformasi masih terasa hingga saat ini. Dalam berbagai momentum, reformasi sering menjadi alasan serta menguatkan argumentasi di berbagai forum diskusi dan polemic yang menyoalkan transformasi tata kepemerintahan Indonesia. Apabila ditinjau sedikit ke belakang, sesungguhnya reformasi berawal dari suatu realitas buruknya pengelolaan Negara oleh Orde Baru yang melahirkan ragam masalah yang telah mendudukkan “ Negara” layaknya terdakwa di hadapan pengadilan rakyat yang menuntut perwujudan mandate politik  sejak 60-an tahun yang lampau. Tragedy jembatan semanggi, kerusuhan Poso, Ambon, konflik – konflik dengan derajat yang bervariasi di daerah, mendorong elit politik Indonesia untuk segera menemukan format Negara baru yang dianggap paling mungkin untuk meredam segala manifestasi kemarahan rakyat atas pengelolaan Negara yang buruk di masa lampau.
Undang – undang Otonomi Daerah yang pertama kali lahir yaitu Undang – Undang No. 22 tahun 1999 tentang Pemerintahan Daerah merupakan bentuk lahir dari salah satu upaya pemerintah menyelesaikan masalah nasional tersebut. Dalam perkembangan sejak penetapan (7 Mei 1999), dan di antara rentant waktu kurang lebih dua tahun kesempatan untuk mempelajarinya, lalu pada saat pemberlakuannya hingga kini, kebijakan Otonomi Daerah diwarnai prokontra.
Informasi mengenai sejarah terbentuknya Kabupaten Banggai Kepulauan diperoleh dari tokoh –tokoh masyarakat yang terlibat dalam perjuangan membentuk kabupaten ini. Dari akumulasi informasi tersebut dapat dipastikan bahwa pembentukan Kabupaten Banggai Kepulauan telah melalui proses yang panjang, tepatnya 35 tahun lamanya.
Gagasan membentuk Kabupaten Banggai Kepulauan telah muncul sejak tahun 1964. Ketika itu dalam sebuah pertemuan di kediaman Usman Hamid, anggota DPR-GR tingkat I Sulawesi Tengah utusan PNI (Ayah dari Bapak HM. Ali Hamid, SH) mantan Bupati Pertama Banggai Kepulauan. Dari pertemuan itu terbentuk Panitia Penuntut Daerah Otonom (PPDO) yang terhitung mulai bekerja pada tanggal 25 Pebruari 1964. Sebagai tindak lanjutnya, panitia ini kemudian memberikan mandate sekaligus mengutus delegasi untuk menyampaikan aspirasi rakyat Banggai Kepulauan kepada Ketua DPR-GR yang merupakan keputusan bersama Orpol/Front Nasional, Pemuka – pemuka masyarakat seluruh kecamatan Banggai Kepulauan. Mandate ini dibuat tanggal 10 Mei 1966. Delegasi tersebut berangkat ke Jakarta menemui Ketua DPR-GR.
Selanjutnya tahun 1968 beberapa anggota DPRD-GR Banggai kembali menyampaikan data dan hasil kajian ke Jakarta. Pada tanggal 10 Nopember 1968 delegasi ini diterima oleh Ketua DPR-GR. Sesuai keterangan yang dikeluarkan staf pribadi ketua DPR-GR tanggal 4 Desember 1968, dua anggota delegasi menemui dirjen PUOD (Pemerintahan Umum dan Otonomi Daerah) dan mendapat arahan agar mempersiapkan kesanggupan sosial ekonomi untuk membiayai dirinya sendiri. Delegasi ini kemudian menyerahkan dokumen data keadaan sosial ekonomi dan kesepakatan masyarakat Bangkep untuk diteruskan kepada sekretaris Negara, Alamsyah Ratuprawira Negara. Di samping upaya – upaya formal melalui delegasi resmi, tokoh masyarakat Bangkep lainnya gencar melobi petinggi – petinggi pusat untuk merealisasikan keinginan masyarakat Bangkep membentuk kabupaten sendiri. Dari proses ini, delegasi dan beberapa tokoh masyarakat berhasil bertemu Jendral A.H. Nasution (Ketua MPRS) di kediaman beliau pada tanggal 10 Desember 1968 dan mendapat dukungan beliau.
Pada tanggal 13 Desember 1968 muncul respon positif dengan adanya surat dirjen PUOD no. 2/2/30 tanggal 4 Desember 1968 yang diteruskan kepada DPRD-GR tingkat II Banggai, bahwa resolusi no. 1/res/1967 telah diterima dan mendapat perhatian Pemerintah Pusat. Untuk itu masyarakat Banggai Kepulauan dianjurkan mempersiapkan diri baik fisik maupun mental guna suksesnya pemekaran Banggai Kepulauan.
Upaya perjuangan tidak berhenti sampai tahun itu saja, tahun 1978 melalui pimpinan DPT Tingkat I Sulawesi Tengah, Bapak Zainudin Abdul Rauf upaya lobi terus dilakukan. Demikian pula ketika Ny. Samsia Lasahido menjadi anggota MPR pada tahun 1984, perjuangan masyarakat Banggai Kepulauan terus disuarakan lewat figure ini.
Tanggal 10 Maret 1994 Pemuka – pemuka masyarakat Banggai Kepulauan kembali menyampaikan permohonannya. Kali ini ditujukan kepada Wakil Presiden RI kemudian disusul lagi dengan surat tanggal 10 Maret 1994 yang disertai dengan kelengkapan data pendukung guna pertimbangan Pemerintah Pusat.
Tanggal 10 Nopember 1994, diperoleh jawaban dari Wakil Presiden melalui asisten wakil presiden bidang pengawasan dengan surat no. R-9224/WK Pres/Was/P/11/1994 yang isinya menyampaikan bahwa surat dari masyarakat Banggai Kepulauan telah diteruskan kepada dirjen PUOD dengan pengantar no. R-156/WK Pres/Was/P/01/1994 tanggal 26 Juni 1994. Merasa bahwa ada realisasi oleh Departemen Dalam Negeri, maka pemuka masyarakat Banggai Kepulauan kembali melayangkan surat kepada Mendagri dan Dirjen PUOD, menyampaikan bahwa 127.971 jiwa dari 160 desa di Banggai Kepulauan mendambakan keinginan untuk maju dan setara dengan daerah lainnya melalui “ Jembatan Emas Banggai Kepulauan”.
Tergerak oleh pidato Presiden Soeharto pada tanggal 4 Januari 1996 saat menyampaikan Nota Keuangan  RAPBN di hadapan Rapat Paripurna DPR, yang antara lain menyampaikan seluruh desa di Kabupaten Banggai ditetapkan sebagai desa penerima IDT, maka masyarakat Banggai Kepulauan menilai hal tersebut disebabkan belum maksimalnya upaya membuka isolasi ke daerah kantong produksi. Daerah Banggai Kepulauan dirasakan tertinggal karena terdiri dari Pulau-pulau yang terpisah. Untuk mempercepat akselerasi pembangunan di daerah itu di antaranya dengan sesegera mungkin menetapkan Banggai Kepulauan sebagai Daerah Otonom terpisah dari kabupaten induknya yaitu Banggai. Hal ini tercermin dalam surat pemuka masyarakat Banggai Kepulauan yang ditujukan kepada Mendagri juni 1999.
Sesuai dokumen yang dapat ditelusuri dan dikatakan bahwa surat yang dikirim kepada Wapres tertanggal 17 Juli 1997 adalah surat terakhir yang kemudian mendorong Dewan Pertimbangan Otonomi Daerah (DPOD), meminta Departemen Dalam Negeri menurunkannTim Balitbang Depdagri untuk meneliti kesiapan pemekaran Banggai Kepulauan, sampailah kemudian terbitlah Undang – undang No. 51 tahun 1999 yang secara yuridis memberikan kepastian hokum terbentuknya Kabuypaten Banggai Kepulauan.
Rentang waktu 35 tahun memperjuangkan berdirinya Kabupaten Banggai Kepulauan bukannya waktu yang pendek. Bisa dibayangkan bagaimana sambutan masyarakat ketika Undang-undang No. 51 tahun 1999 tentang pembentukan Kabupaten Banggai Kepulauan diterbitkan. Ternyata perjuangan yang panjang itu tidak sia-sia. Rasa syukur masyarakat Banggai Kepulauan atas anugerah ini dinyatakan dsalam ikrar yang diungkapkan oleh tokoh-tokoh adat ketika menyambut Bupati pertama HM. ALI HAMID, SH. :
“ Pau Lipu Tano Banggai budomo kolimbito tolukorono lima ko taun na ampale sodo nia lakon ko temeneno na moloyos sene. Ko nggolio ko tano kenendeke ko lipu”.
(35 tahun masyarakat Banggai berjuang, baru sekarang dikabulkan yang Maha Kuasa. Pertahankan tanah leluhur, bangun negeri ini).
Dalam pandangan tokoh masyarakat Banggai Kepulauan ungkapan tersebut sebenarnya merupakan juga pernyataan bahwa perjuangan belum berakhir. Apa yang telah diperoleh barulah babak awal dari perjuangan yang lebih besar, yakni membangun negeri. Mengingat hal itu, maka seluruh masyarakat Banggai Kepulauan dihimbau untuk menjadikan ungkapan tersebut menjadi motto serta pegangan semua lapisan masyarakat dalam meneruskan perjuangan dengan semangat persatuan. Membangun negeri Banggai Kepulauan adalah sebuah keniscayaan sejarah karena daerah ini  mempunyai peradaban sejarah yang tinggi di masa lampau.


















SUKU BANGGAI
MAKNA MOTTO BANGKEP : KONGGOLIO KO TANO KENENDEKE KO LIPU
MEMBANGUN CHARAKTER  MELALUI KEARIFAN LOKAL BANGGAI
Isu lokalitas membumi ketika Globalisasi dirasakan menjadi neo kolonialisme bagi Negara-negara sedang berkembang. Oleh karena itu diskursus lokalitas sebagai potensi daerah dan jati diri bangsa merupakan bentuk perlawanan atas globalisasi, baik globalisasi ekonomi, budaya maupun politik. Dalam perspektif dependensia, Globalisasi merupakan kamuflase pembangunan dalam ketergantungan dan kretinisme lokalitas. Padahal sesungguhnya modal barrier potensial dalam pembangunan masyarakat adalah potensi daerah yang kemudian kita kenal dengan istilah Lokalitas.
Dinamika perubahan sosial dunia tidak dapat terlepas dari logic globalisasi multi dimensi. Tidak dapat dipungkiri, logika Globalisasi seakan telah menjadi determinisme dalam perubahan sosial di dunia ini. Hukum Globalisasi telah mengakar dalam sistem dunia, yang mencakup sistem perekonomian dan politik dan sosial secara simultan. Permasalahan tidak lagi dapat diselesaikan secara internal dalam satu negara. Lebih dari itu persoalan-persoalan kontemporer saat ini harus dipahami dalam perspektif global, dibawah pengaruh kekuatan-kekuatan global, lembaga ekonomi global, budaya global dan globalisme lainnya.
Globalisasi didefinisikan sebagai proses yang memungkinkan masyarakat dunia untuk bisa saling menjangkau dan terhubung antara satu dengan lainnya dalam semua aspek kehidupan, baik ekonomi, politik, budaya, teknologi maupun lingkungan (bе a lodger, 1991). Unsur utama Globalisasi adalah kesalingterhubungan, integrasi dan kesalingterkaitan. Sebuah kehidupan dimana sebagian besar proses kehidupan ditentukan oleh proses-proses Global saling terkait. Proses – proses global tersebut meniscayakan integrasi secara fisik dalam skala global yang melampaui batas-batas negara. Misalnya perdagangan internasional yang mengintegrasikan ekonomi global antar negara di dunia. Interdependensi global dapat kita lihat pada kebijakan-kebijakan tingkat nasional yang tidak dapat mengabaikan peristiwa-peristiwa tingkat Global (Winarno, 2009: 19).
Globalisasi merupakan serangkaian proses yang kompleks, bukan proses tunggal dan semua ini berlangsung dalam wujud yang kontradiktif atau bertentangan satu sama lain. Kebanyakan orang memandang globalisasi hanya sebagai pengaruh atau daya ”yang bergerak meninggalkan” bangsa dan komunitas lokal memasuki arena global, dan inilah salah satu konsekuensinya. Bangsa-bangsa memang kehilangan sebagaian kekuataan ekonominya, namun demikian globalisasi juga mempunyai dampak yang sebaliknya. Globalisasi tidak hanya menarik ke atas, melainkan juga mendorong ke bawah, menciptakan tekanan-tekanan baru bagi otonomi lokal.
Globalisasi merupakan suatu fenomena yang keberadaanya tidak begitu saja ada. Ia ada setelah melalui proses yang kompleks. Ada tiga argumen dasar untuk menjelaskan globalisasi, yaitu tersebut adalah pertama, kemajuan teknologi atau revolusi teknologi informasi, kedua, permintaan pasar dunia dan ketiga, logika kapitalisme atau judgment οf capalitalism. Meskipun ketiga argumen itu ada yang menyangah, akan tetapi tak dapat dipungkiri ketiganya merupakan kunci masuk globalisasi di samping kapitalisme dan neo liberalisme yang melalui badan-badan internasional menjadi agen dari suksesnya gerakan globalisasi. Indonesia memang telah masuk dalam arus globalisasi ini, meski struktur dan infrastruktur yang kurang mendukung suksesnya Indonesia dalam era globalisasi ini. Untuk itu perlu dilakukan pembenahan pada berbagai sektor.
Namun demikian, permasalahan yang sesungguhnya bukanlah bagaimana indonesia melepaskan diri dari pengaruh Globalisasi, akan tetapi bagaimana indonesia dapat mengambil manfaat positif dari Globalisasi. Pandangan demikian bukan pesimistik maupun optimistik melainkan realistik. Bagaimanpun juga, dewasa ini sistem ekonomi telah terintegrasi secara global, hal ini akan sulit apabila kita berfikir secara out οf thе box. Namun demikian, bukan kita harus larut dalam arus global yang semakin mengancam nilai-nilai lokalitas, akan tetapi kita harus mampu meningkatkan kapabilitas masyarakat tingkat lokal untuk bersaing ditingkat Global.
Dalam konteks nasional, lokalitas seringkali dibenturkan dengan nilai-nilai dan kebijakan nasional yang dinilai tidak berpihak kepada daerah. Dalam kebijakan pembangunan masyarakat, cenderung bersifat centralistik, mengabaikan kekayaan daerah. Otonomi daerah yang diamanatkan dalam Undang-Undang nο 32 tahun 2004 hanyalah sebuah transformasi kekuasaan dari pusat ke daerah. Masyarakat dengan segala lokalitasnya hanyalah menjadi obyek dari setiap kebijakan, padahal sesungguhnya stakeholder kebijakan bukanlah hanya pemerintah, melainkan juga masyarakat.
Kekayaan lokal sebagai potensi masyarakat dapat direfleksikan apabila terdapat: pertama kemampuan untuk mengidentifikasi resources potensial disekitar. Meskipun banyak potensi sumberdaya, namun apabila masyarakat tidak mempunyai kepekaan maka sumberdaya tersebut tetap akan menjadi potensi yang tidak ter-aktualkan. Artinya resources tersebut tidak dapat dimanfaatkan dalam pemberdayaan masyarakat. Kedua sikap dan tangggapan positif dari masyarakat. Meskipun masyarakat menyadari akan adanya potensi sumberdaya disekitarnya, apabila masyarakat apatis dan kurang peduli maka sumberdaya tersebut juga tidak akan termanfaatkan (Soetomo, 2009:209-210).
Pemanfaatan potensi lokal merupakan upaya partisipatif, menghargai kebhinekaan, dan lokalitas. Dalam konteks ini refleksi kekayaan lokal merupakan upaya menggali potensi lokal termasuk didalamnya modal sosial guna dimanfaatkan sebesar-besarnya untuk memberdayakan masyarakat baik secara ekonomi maupun sosial. Konsep ini sejalan dengan apa yang disebut oleh Midgley sebagai pembangunan sosial oleh masyarakat. Menurutnya dengan model ini masyarakat dapat memilih permasalahan yang dihadapi dan mendesak untuk diselesaikan sekaligus merumuskan strategi penyelesainnya dengan berbasis potensi masyarakat itu sendiri (Midgley, 2005: 166-167). Dengan model pemberdayaan demikian, akan tercapai apa yang disebut Ife&Tesoriero sebagai perubahan masyarakat dari bawah. Perubahan dari bawah ini diyakini akan bersifat sustainable dan efektif dikarenakan sudah seharusnya sebuah masyarakat menentukan masa depannya sendiri,. Untuk mencapai hal ini menurut Ife & Tesoriero harus melalui langkah pemberdayaan yang menghargai lokalitas (pengetahuan lokal, kebudayaan lokal, sumberdaya lokal, keterampilan lokal dan proses lokal). Interaksi diantara lokalitas diatas, akan termanifestasi dalam sumberdaya, baik sumberdaya clarification maupun sosial (Ife & Tesoreiro, 2008:241-242). Tanpa mengurangi urgensitas sumberdaya clarification, sumberdaya sosial mempunyai peran strategis dalam pemberdayaan berbasis lokalitas ini. Hal ini disebabkan karena untuk memaksimalkan pemanfaatan sumberdaya clarification seringkali dideterminasi oleh resources sosial. Sebagaimana dijelaskan Soetomo (2009) bahwa modal sosial akan mendorong pemanfaatan sumberdaya clarification. Menurutnya sikap saling percaya (mutual trust), yang mendasari hubungan ekonomi akan memacu kemauan untuk memanfaatkan store dari orang lain termasuk didalamnya resources clarification.
Peningkatan Kapasitas Masyarakat lokal (Madura)
Bagaimana lokalitas madura yang dinilai potensial sekaligus mencerminkan identitas bangsa?. Diatas telah disinggung, identitas bangsa kita telah dimanifestasikan dalam pancasila yang merupakan breakdown dari sekian ribu kekayaan lokal masyarakat indonesia secara keseluruhan.
Dalam konteks lokal Banggai, terdapat beberapa potensi lokal yang kiranya dapat digunakan sebagai Sokoguru  pengembangan kearifan local masyarakat Banggai, antara lain ;
Pertama, Bahasa Banggai.
Kedua, Hubungan Kekeluargaan
Ketiga, adat – istiadat
Keempat, sopan santun
MUTIARA TERSEMBUNYI DI REPUBLIK
PROFIL SINGKAT KABUPATEN BANGGAI KEPULAUAN

Geografis

Kabupaten Banggai Kepulauan merupakan kabupaten hasil pemekaran dari Kabupaten Banggai Provinsi Sulawesi Tengah pada tahun 1999. Secara geografis Kabupaten Banggai Kepulauan sangat strategis. Daerah ini tepatnya terletak pada 10 06⁰ 30⁰ Lintang Selatan  sampai 20 20⁰  00⁰  Lintang Selatan dan 122 40⁰ 00⁰ Bujur Timur sampai 124 13⁰ 30⁰ Bujur Barat di jazirah Timur Laut Pulau Sulawesi. Luas wilayah kurang lebih 22.042,56 km2 yang terdiri dari luas daratan 3.224 km2 dan luas laut 18.828,10 km2.

Batas wilayah administratife Kabupaten Banggai Kepulauan adalah :
·         Sebelah Selatan berbatasan dengan Teluk Tolo
·         Sebelah Utara berbatasan dengan  Selat Peling dan Laut Maluku
·         Sebelah Barat berbatasan dengan Selat Peling dan Kabupaten Banggai
·         Sebelah Timur berbatasan dengan Laut Maluku dan Teluk Tomini

Wilayah Kabupaten Banggai Kepulauan terdiri dari pulau-pulau sedang (8 buah), pulau-pulau kecil ( 113) dan perairan. Topografi meliputi daratan, lembah dan pegunungan. Iklim di Banggai Kepulauan terbagi atas dua musim yaitu musim hujan dan musim panas.

Keadaan geografis wilayah Banggai Kepulauan berada di sepanjang pesisir pantai. Suhu udara maksimun tertinggi terjadi pada bulan Desember (33,30C) dan suhu udara minimum terendah terjadi pada bulan Agustus (21,60C). Suhu udara rata-rata berkisar antara 160C sampai dengan 28,90C. Kelembaban udara rata-rata 76 sampai dengan 83. Curah hujan pertahun 44 mm sampai dengan 259 mm dan kecepatan angin berkisar 3 – 6 knot.
Keadaan Demografis
Penduduk Kabupaten Banggai Kepulauan pada tahun 2010 adalah 163.393 jiwa dengan rincian perempuan 80.435 jiwa dan laki-laki 82.958 jiwa. Suku aslinya yaitu Banggai dan suku pendatang seperti Saluan, Bugis, Buton, Ambon, Jawa dan lain-lain.




Visi Kabupaten Banggai Kepulauan
Visi Kabupten Banggai Kepulauan adalah : “ Mewujudkan Banggai Kepulauan sebagai wilayah mariitim yang aman, sejahtera, adil dan maju dengan dilandasi iman dan taqwa”.

Misi Kabupaten Banggai Kepulauan
Misi Kabupaten Banggai Kepulauan adalah :
1.       Nilai agama dan budaya sebagai sumber etika dan perilaku.
2.       Pemerintah sebagai fasilitator.
3.       Meningkatnya penerimaan daerah terutama melalui sector perikanan dan kelautan.
4.       Meningkatnya investasi khususnya di sector perikanan dan kelautan.
5.       Meningkatnya sumber daya manusia.
6.       Meningkatnya partisipasi masyarakat.
7.                Meningkatnya sarana dan prasarana wilayah.
8.                Meningkatnya kesadaran masyarakat.
9.                Terpeliharanya keamanan dan ketertiban masyarakat.
10.            Meningkatnya kehidupan demokrasi terutama pada bidang politik.
11.            Terwujudnya supremasi hukum dan pemerintah yang bersih.
12.            Pulihnya kegiatan ekonomi.
13.            Meningkatnya kapasitas daerah dan pemberdayaan masyarakat.

a.       Ekonomi
b.      Sumber Daya Alam
c.       Sarana dan Prasarana













MAKANAN RAJA – RAJA CINA DARI NELAYAN BANGGAI
(Kutipan Kompas, Jumat, 22 Juni 2007 : Tulisan Reinhard Nainggolan).
Masyarakat Cina telah lama mengenal Kerang Mata Tujuh, Teripang dan Sirip Hiu sebagai makan yang lezat, bergizi tinggi, serta menambah vitalitas dan keperkasaan tubuh. Konon, ketiga biota itu menjadi makanan wajib bagi kalangan istana Kekaisaran Cina, setidaknya sejak zaman Dinasti Sung (960 – 1279)”.
Matahari baru saja beranjak dari peraduannya ketika Arifin (23) menyelesaikan penyelamannya yang terakhir, awal Mei lalu. Sejak kemarin malam, sudah puluhan kali menceburkan diri ke laut, menyelam sampai ke dasar, meraba karang – karang dan kembali naik ke permukaan.
Di dasar laut, Arifin bermaksud mencari kerang yang berdiam di sekitar karang. Sayang, sampai subuh itu, hasil yang diperolehnya tidak banyak, “ hanya 15 ekor ,” kata Arifin yang ditemui di Pulau Masoni, Kabupaten Banggai Kepulauan Sulawesi Tengah.
Walau tidak banyak, sekitar 1 kg kerang (dagingnya saja) yang di dapat Arifin laku dijual di pasar ikan dengan harga
 Rp. 50.000. Kerang jenis ini bukan seperti kerang bulu yang biasa dijual dengan harga Rp. 6000 – Rp. 10.000 per kilogram.
Kerang yang dicari Arifin, juga nelayan lainnya di Pulau Mosoni adalah kerang mata tujuh (Abalon). Bentuknya lonjong, dengan panjang rata-rata 7 – 10 cm dan lebar 3 – 4 cm. Disebut mata tujuh karena pada salah satu sisi cangkang kerang itu terdapat tujuh lubang kecil.
Kerang jenis ini merupakan salah satu komoditas laut andalan Kabupaten Banggai Kepulauan karena memiliki nilai ekonomis sangat tinggi dan tergolong langka. Selain di sana sulit menemukan abalone di tempat lain.
Bila dijual dalam kondisi kering (hasil penjemuran) harga daging kerang mata tujuh mencapai Rp.350.000 per kilogram. Satu kilogram daging kerang mata tujuh kering biasanya hasil pengeringan dari 4 kilogram yang basah.
Harga di atas baru di tingkat pedagang pengumpul di Banggai. Pengumpul dari Banggai lalu menualnya ke pedagang pengumpul di Makassar atau Jakarta dengan harga RP. 450.000 – Rp. 500.000 per kilogram. Di Jakarta sebagian daging kerang ini dijual ke restoran dan hotel mewah. Sebagian lagi di ekspor ke Singapura, Hongkong, China, Taiwan, Jepang, Australia dan Amerika, tentu dengan harga yang jauh lebih mahal.
Penasaran bagaimana rasanya, Kompas  bermaksud membeli daging kerang mata tujuh dari Dirman (26), seorang pengumpul di Pulau Mosoni. Namun, niat itu terpaksa dibatalkan karena tidak satupun dari 708 jiwa (174 Keluarga) penduduk Pulau Mosoni yang mengetahu bagaimana memasak atau mengolah kerang itu menjadi makanan.
“Kami tidak pernah memakan kerang ini, yang basah maupun yang kering. Tidak tahu cara memasaknya,” kata Dirman seraya menambahkan,  “Seandainya pun kami tahu, lebih baik dijual karena makan satu kilo kerang ini sama dengan makan satu kerang beras.”
Teripang dan Hiu
Pulau Mosoni yang merupakan pulau terluar di Sulawesi Tengah dan berbatasan dengan Maluku Utara, juga dikenal sebagai penghasil teripang (timun laut) dan sirip ikan hiu. Walaupun kedua  jenis biota laut ini lebih mudah ditemukan karena merupakan hasil tangkapan nelayan-nelayan lainnya di Banggai Kepulauan, harganya tidak lebih murah. Bahkan, harga sirip ikan hiu bias 3 – 5 kali lipat dari harga kerang mata tujuh.
Marianto (27), nelayan di Pulau Mosoni, menyebutkan, saat ini harga teripang kering di tingkat nelayan Rp. 300.000 per kilogram. Jenis teripang koro (Holothuroidea nobilis) lebih mahal lagi yaitu Rp. 400.000 per kilogram.
Adapun  sirip hiu kering Rp. 700.000 sampai Rp. 1, 5 juta per kilogram, tergantung jenis hiunya. Yang paling mahal adalah sirip putih karena sudah langka dan khasiatnya diyakini lebih banyak.
Lajuni Lakuri, penampung sirip hiu dan cumi kering di Banggai, menceritakan, ia pernah menjual sirip hiu putih yang beratnya dua kilogram seharga Rp. 7 juta kepada penampung di Jakarta. Sirip hiu itu dihargai mahal karena berasal dari satu ekor ikan hiu yang cukup besar.
Sama seperti kerang mata tujuh, kata Lajuni, sebagian kecil teripang dan sirip hiu itu dijual kembali ke restoran mewah dan hotel – hotel berbintang di Jakarta, Medan, Surabaya. Sebagian besar lainnya di ekspor ke mancanegara.
Sebelum diekspor, sirip hiu biasanya dibersihkan dulu dengan cara mengikis kulit luarnya. Pengikisan dilakukan sampai sirip berwarna putih dan tulang-tulang rawan (seperti laksa/bihun) mulai kelihatan. “Kalau sudah seperti laksa, harganya Rp. 15 juta perkilo,”kata lajuni.
Mahalnya harga jual teripang dan sirip hiu ini juga membuat nelayan-nelayan dan pengumpul di Banggai enggan mencoba bagaimana rasanya hasil tangkapan sendiri.
Namun,  Lajuni beruntung. Dua tahun lalu ia diajak seorang pengumpul di Jakarta ke sebuah restoran mewah di Bilangan Jakarta Utara. Dari daftar menu, ia melihat harga sup sirip hiu itu Rp. 750.000 per mangkok ukuran sedang. Bila menyantapnya di Singapura atau Hongkong, sekitar 120 dollar US per mangkok.
Di dalam mangkok hanya ada kira-kira dua sendok sirip hiu yang telah diurai seperti mihun, ditambah 4 -5 irisan kecil daging kerang mata tujuh dan teripang. Kua sup mirip dengan kua asparagus. “ Kerang dan teripangnya enak, tetapi sirip tidak ada rasa. Seperti makan laksa”, kata Lajuni menceritakan pengalamannya.
Konsumsi Istana
Keahlian mencari kerang mata tujuh dan teripang bukanlah keterampilan baru bagi nelayan di Banggai Kepulauan. Musni Lampe dalam makalahnya berjudul Budaya Bahari dalam konteks Global dan Modern (2003) mengungkapkan, pada abad ke -17, kapal – kapal China beramai-ramai berlabuh ke pelabuhan Somba Opu – pusat perekonomian Kerajaan Gowa waktu itu.
Maksud kedatangan mereka adalah mencari komoditas ekspor, seperti kerang mata tujuh, teripang, sirip hiu, penyu, dan sarang burung wallet. Berbagai komoditas itu ditukar langsung dengan barang-barang bekas, seperti pakaian, tembikar, porselen, dan lilin. Sejak saat itulah nelayan di perairan Sulawesi mulai mencari kerang mata tujuh, teripang dan sirip hiu.
Kebiasaan masyarakat China mengkonsumsi berbagai biota laut di atas diperkirakan sudah berlangsung cukup lama, setidaknya sejak zaman Dinasti Sung. Konon, kerang mata tujuh, teripang, dan sirip hiu menjadi makanan wajib bagi kalangan istana Kekaisaran China.
Selain rasanya yang lezat, masyarakat China yakin biota laut itu memiliki banyak khasiat. Di antaranya sebagai obat berbagai jenis penyakit, vitalitas, memperpanjang umur dan menambah keperkasaan laki – laki.
Keyakinan it uterus terpelihara sampai saat ini. Bahkan penelitian Institut Kimia Universitas Laos Banos, Filipina, mengungkapkan teripang dapat menjadi obat Human Immunodeficiency Virus (HIV). Belum diketahui apakah penelitian itu terbukti benar atau tidak.
Menyantap kerang mata tujuh, teripang dan sirip hiu juga tidak lagi didominasi masyarakat China, tetapi oleh suku bangsa lainnya. Bahkan mengkonsumsi ketiga biota laut itu telah menjadi gaya hidup kalangan jetset di berbagai kota besar di belahan dunia.
Tomoya Akimichi  dalam Coastal Foragers in Transstion (Seri Etnological Studies No. 42 : 1991, National Museum of Ethnology) menyebutkan, selain terkait dengan kenikmatan santapan, tujuan konsumen makan biota mahal itu tidak lain untuk memperkuat status sosialnya.
Dari pesisir pantai Pulau Masoni yang gelap karena belum terjangkau listrik, terbayang gemerlap lampu restoran dan hotel mewah di kota – kota metropolitan. Boleh jadi, mereka yang punya status social atau mungkin lebih tepat status ekonomi tinggi tengah menyantap kerang mata tujuh, teripang dan sirip hiu di sana.
Namun, di Pulau Masoni, saban malam para nelayan menyambung nyawa mencari tiga biota laut itu tanpa pernah merasakan nikmat, apalagi khasiatnya.







5 komentar:

  1. Luar biasa. salam kenal kak. yaku juga pau banggai.. salam montolutusan

    BalasHapus
    Balasan
    1. ok,,sama2.mari gagas Bangkep gemilang 2016,,,Hairudin Batam Kepulauan Riau.

      Hapus
  2. sangat membantu buat saya...terima kasih..salam juga dari saya anak BangKep

    BalasHapus
  3. sangat membantu buat saya...terima kasih..salam juga dari saya anak BangKep

    BalasHapus
  4. Waaaahhhh bagus bangat ni... Ayo kita sebagai anak Banggai tetap maju terus untuk membangun Banggai kepulauan yang lebih maju dan oke di mata Indonesia bahkan dunia

    BalasHapus